Tugas Perbandingan Hukum Pidana
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
1.
DASAR-DASAR
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Sistem
peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan
lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa
Indonesia selama kurang lebih tiga setengah abad.
Walaupun
bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia dapat dipisahkan dalam dua
kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materil.
Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law”
dan hukum pidana materil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut
dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
2.
ACARA
PERSIDANGAN PIDANA DI INDONESIA
a.
Penyelidikan
Merupakan suatu rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya penyidikan lebih lanjut.
b. Penyidikan
Suatu rangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan barang
bukti, dengan bukti tersebut membuat terang tentang kejahatan atau pelanggaran
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
c.
Penuntutan
Tindakan JPU
untuk melimpahkan perkara pidana ke PN yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa
oleh hakim di sidang pengadilan.
d.
Sidang pengadilan :
v Dakwaan
Surat dari
Penuntut Umum yang menunjuk atau membawa suatu perkara pidana ke pengadilan
apabila cukup alasan untuk mengadakan penuntutan terhadap tersangka yang memuat
peristiwa-peristiwa dan keterangan-keterangan mengenai Locus serta Tempus
dimana perbuatan tersebut dilakukan, dan keadaan-keadaan terdakwa melakukan
perbuatan tersebut, terutama keadaan yang meringankan dan memberatkan kesalahan
terdakwa.
v Ekspesi
/ tangkisan / keberatan
Alat pembelaan dengan tujuan utama untuk menghindarkan diadakannya putusan
tentang pokok perkara, karena apabila eksepsi ini diterima oleh PN, maka pokok
perkara tidak perlu diperiksa dan diputus.
v Keterangan
saksi dan keterangan ahli
a.
Keterangan saksi adalah keterangan yang
diberikan di muka persidangan mengenai apa yang saksi lihat dan dengar sendiri
b.
Keterangan (saksi) ahli/Espertise adalah
keterangan pihak ketiga yang objektif untuk memperjelas dan member kejernihan
dari perkara yang disidangkan serta untuk menambah pengetahuan hakim dalam
penyeesaian perkara. Keterangan ahli diberikan sesuai dengan keahlian dari ahli
tersebut Seluruh keterangan saksi dan keterangan {saksi ahli di muka persidangan
berada di bawah sumpah (alat bukti yang sah)}
Keterangan
terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan dalam persidangan tentang perbuatan
yang ia lakukan atau yang ia alami dan ia ketahui sendiri
v Requisitoir
/tuntutan jaksa
Tuntutan JPU sebagai kesimpulan pemeriksaan dimuka persidangan yang
diajukan setelah smua saksi dan ahli-ahli didengar serta surat-surat yang
berguna sebagai alat bukti dibacakan dan dijelaskan kepada terdakwa.
v pledoi
/pembelaan jaksa
Setelah JPU
membacakan requisitoirnya maka terdakwa / penasehat hukumnya mengajukan
pledoinya.
v replik
jaksa dan duplik terdakwa / penasehat hukum
v Replik
JPU
1.
Setelah pembelaan/pledoi penasehat hukum
dibacakan, maka JPU diberikan kesempatan oleh hakim untuk mengajukan replik secara
tertulis.
2.
Replik tersebut diserahkan kepada Hakim Ketua
sidang dan turunannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
v Duplik
Terdakwa / Penasehat Hukum
1.
Duplik ini diajukan secara tertulis dan
dibacakan oleh pansehat hukum dipersidangan terhadap replik JPU.
2.
Duplik tersebut diserahkan kepada Hakim Ketua
sidang dan turunannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
v putusan
majelis hakim
Menurut
KUHAP ada 3 (tiga) macam putusan pengadilan, yaitu :
1.
Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak).
2.
Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari
segala tuntutan hukum (onstlag van rechtvervolging).
3.
Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa.
v Upaya
Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri
· Upaya Hukum :
Hak terdakwa
atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama.
· Latar belakang
daripada upaya hukum :
Karena putusan
itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil memihak,
oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim dimungkinkan
untuk diperiksa ulang agar kekeliruan putusan tersebut dapat diperbaiki.
· Upaya hukum
biasa :
a.
Naik Banding (revisi) ke Pengadilan Tinggi (PT)
Upaya hukum
terhadap Pengadilan Tingkat ke 2 (dua)/Pengadilan Tinggi (PT) yang
mengulangi pemeriksaan baik mengenai fakta-faktanya maupun mengenai penerapan
hukum atau undang-undangnya.
b.
Kasasi (Pembatalan) ke Mahkamah Agung (MA)
Upaya hukum
yang dilakukan ke Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas
putusan-putusan pengadilan lain.
Upaya Hukum
Luar Biasa
1.
Kasasi Demi Kepentingan Hukum, yaitu
Terhadap semua
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selain MA,
dapat diajukan Kasasi oleh Jaksa Agung.
2.
Peninjauan Kembali (PK) Putusan Pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap
terhadap
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan PK ke MA.
3.
MACAM-MACAM SANKSI/HUKUMAN
PIDANA DI INDONESIA
Mengenai
hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah
melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10
KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai
berikut :
Ø Hukuman-Hukuman
Pokok
·
Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat
negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda,
tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih diberlakukan untuk
beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.
·
Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri
dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman
penjara sementara minimal 1 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama
masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar
penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.
·
Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak
seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau
pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau
hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada
hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya
kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana
saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat
dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan
terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan
pada hukuman penjara tidak demikian.
·
Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh
memilih sendiri antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda
adalah 6 Bulan
·
Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan
berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.
Ø Hukuman
Tambahan
Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara
tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan
tersebut antara lain :
a.
Pencabutan hak-hak tertentu.
Hal ini diatur
dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi:
Hak si
bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan
dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang umum lainnya, ialah
·
Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu
·
Masuk balai tentara
·
Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang
dilakukan karena undang-undang umum
·
Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas
atau pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain yang
bukan anaknya sendiri
·
Kekuasaan bapak, perwalian ,dan pengampuan atas
anaknya sendiri
·
Melakukan pekerjaan tertentu
Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri
dari jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain
yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan itu.
b.
Penyitaan barang-barang tertentu.
Karena suatu
putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah
barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang dirampas itu adalah
barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk
melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi:
·
kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan
sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh dirampas.
·
Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan
sengaja atau karena melakukan pelanggaran dapat juga dijatuhkan perampasan,
tetapi dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang.
·
Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan
atsa orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi
hanyalah atas barang yang telah disita.
c.
Pengumuman keputusan hakim.
Hukuman
tambahan ini dimaksudkan untuk mengumuman kepada khalayak ramai (umum) agar
dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum.
Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali,
yang semuanya atas biaya si terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan
hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHP).
A. SISTEM
PERADILAN SAUDI ARABIA
1.
DASAR-DASAR
HUKUM SAUDI ARABIA
Syariat
Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan
umat manusia, baik Muslim mahupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan,
Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Oleh
sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan
sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
Terkait dengan
susunan tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan
bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara,
maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu
secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan
RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan
sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al
Maidah ayat 101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan
ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian
perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidupberibadahnya kepada
Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut
sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk
dalam kategori Furu' Syara'.
· Asas
Syara'
Yaitu perkara
yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits, kedudukannya sebagai Pokok
Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu
Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam
seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir
zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat
dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan
umat Islam tidak mentaati Syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa
atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan
tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian
pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat
itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari'at yang berlaku.
Hukum
Syara’ adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh titah
Allah yang ditujukan kepada manusia, yang penetapannya dengan cara tuntutan (thalab),
bukan pilihan (takhyir), atauwadha’. Contoh hukum syara’, dari
beberapa firman Allah dalam Al-Quran.
1.
Firman Allah swt., “Tegakkahlah shalat dan
berikanlah zakat!” [QS. Al-Muzzamil (73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu
tuntutan berbuat, dengan cara tuntutan keharusan yang menunjukkan hukum wajib
melakukan shalat dan zakat.
2.
Firman Allah swt., “Dan janganlah kamu
mendekati zina!” [QS. Al-Isra' (17): 32]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan
meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum haram berbuat zina.
3.
Firman Allah swt., “Dan apabila kamu telah
bertahallul (bercukur), maka berburulah.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan
suatu hukum syara’ boleh berburu sesudah tahallul (lepas dari
ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat berburu atau
tidak.
Wadha’ adalah
sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau menjadi
pencegah terhadap yang lain. Misalnya,
a.
Perintah Allah swt. “Pencuri lelaki dan wanita,
potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah (5): 38]. Ayat ini menunjukkan bahwa
pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum potong tangan.
b.
Bersabda Rasulullah saw., “Allah swt. tidak
menerima shalat yang tidak dengan bersuci.” Hadits ini menunjukkan bahwa
bersuci adalah dijadikan syarat untuk shalat.
c.
Sabda Rasulullah saw., “Pembunuh tidak bisa
mewarisi sesuatu.” Hadits ini menunjukkan bahwa pembunuhan adalah pencegah
seorang pembunuh mewarisi harta benda si terbunuh.
Dari
keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi
dua, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i.
1.
Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah
sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau tuntutan untuk
meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan. Contoh:
a.
Hukum yang
menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta
mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103], “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”
[QS. Al-Imran (3): 97].
b.
Hukum yang menunjukkan tuntutan untuk
meninggalkan: “Janganlah di antara kamu mengolok-olok kaum yang lain.” [QS.
Al-Hujurat (49): 11], “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging
babi.” [QS. Al-Maidah (5): 3].
c.
Hukum yang menunjukkan boleh pilih (mudah):
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi.” [QS.
Al-Jumu'ah (62): 10], “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu mengqashar shalat.” [QS. An-Nisa' (4): 101].
Hukum
taklifi terbagi menjadi dua, yaitu ;
1.
Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah
berubah karena suatu sebab dan uzur. Seperti shalatnya orang yang ada di
rumah, bukan musafir.
2.
Rukhshah adalah suatu hukum asal yang menjadi
berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir.
Sumber-sumber
Hukum islam :
Al-Qur'an
sebagai kitab suci umat
Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk
disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28).
Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama
Syara'. Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian
kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al
Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun
tidak ada yang saling bertentangan.
Al hadist
adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits
sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan
sumber hukum di bawah Al-Qur'an.
Ijtihad adalah
sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis.
Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa
langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak
bisa diijtihadkan. Beberapa macam ijtihad antara lain :
· Furu'
Syara'
Yaitu perkara
yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al
Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at
Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam
di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan
/perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Perkara atau
masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara
ijtihadiyah.
2.
ACARA PERSIDANGAN DI SAUDI ARABIA
Dalam peradilan
Hukum Islam, hanya ada satu hakim yang bertanggung jawab terhadap berbagai
kasus pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan
Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat
menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua).
Tidak ada
sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan
dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus
tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu sendiri. Hukuman-hukuman dalam
Islam hanya bisa dilakukan apabila perbuatan tersebut terbukti 100% secara
pasti dan kondisi yang relevan dapat ditemukan (misal ada 4 saksi untuk
membuktikan perzinahan), jika masih ada keraguan tentang peristiwa-peristiwa
tersebut maka seluruh kasus akan
dibuang.
dibuang.
Ada 3 macam
hakim dalam Islam, yaitu:
1.
Qodli ‘Aam: bertanggung jawab untuk
menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah masyarakat,
misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-kecelakaan,
dsb.
2.
Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan
perselisihan yang timbul diantara
ummat dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar, dsb.
ummat dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar, dsb.
3.
Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan
antara masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat memecat para penguasa atau
pegawai pemerintah termasuk khalifah.
Khalifah kedua
yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-644 M) adalah
orang pertama yang membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah sistem
peradilan (Islam), setiap orang, muslim atau non muslim, laki-laki atau
perempuan, terdakwa dan orang yang dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil
(proxy).
Tidak ada
perbedaan antara pengadilan perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat
sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan dimana sebagian hukum Islam
dan sebagian hukum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya akan
menggunakan sumber-sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan segala
sesuatu yang berasal dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami
akan dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan.
Tidak
seorangpun akan dihukum kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu, sarana
(alat-alat) penyiksaan tidak diperbolehkan. Dibawah sistem Islam, seseorang
yang dirugikan dalam suatu kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa
atau menuntut ganti rugi (misalqishas) untuk suatu tindak kejahatan.
Khusus untuk hukum hudud, merupakan hak Allah. Hukum potong tangan dalam Islam
hanya akan diterapkan apabila
memenuhi 7 persyaratan, yaitu:
1.
Ada saksi (yang tidak kontradiksi atau salah
dalam kesaksiannya).
2.
Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25
dinar atau senilai 4,25 gr emas.
3.
Bukan berupa makanan (jika pencuri itu lapar).
4.
Barang yang dicuri tidak berasal dari keluarga
pencuri tersebut.
5.
Barangnya halal secara alami (misal: bukan
alkohol).
6.
Dipastikan dicuri dari tempat yang aman
(terkunci).
7.
Tidak diragukan dari segi barangnya (artinya
pencuri tersebut tidak berhak mengambil misalnya uang dari harta milik umum).
Di sepanjang
1300 tahun aturan Islam diterapkan, hanya ada sekitar 200 orang yang tangannya
dipotong karena mencuri, kejadin-kejadian pencurian sangat jarang terjadi.
Setiap orang
berhak menempatkan pemimpinnya di pengadilan, berbicara mengkritiknya jika
pengadilan telah melakukan sejumlah pelanggaran terhadapnya. Sebagaimana ketika
seorang wanita pada masa khalifah Umar Ibnu Al Khattab mengoreksi kesalahan
yang dilakukan Umar tentang nilai mahar.
Kehormatan seorang
warga negara dipercayakan kepada Majlis Ummah. Hukuman atas tuduhan kepada
muslim lain yang belum tentu berdosa dengan tanpa menghadirkan 4 orang saksi
yang memperkuat pernyataan tersebut adalah berupa 80 kali cambukan.
3.
MACAM-MACAM
SANKSI HUKUMAN PIDANA DI SAUDI ARABIA
Ada 4 kategori
hukuman dalam sistem peradilan Islam, yaitu:
a.
Hudud. Hak Allah SWT, seperti perbuatan zina (100
cambukan), murtad (hukuman mati).
b.
Al Jinayat. Hak
individu, dia boleh memaafkan tindak kejahatan seperti pembunuhan, kejahatan
fisik.
c.
At Ta’zir. Hak masyarakat,
perkara-perkara yang mempengaruhi kehidupan masyarakat umum sehari-hari seperti
pengotoran lingkungan, mencuri di pasar.
d.
Al Mukhalafat. Hak negara,
perkara-perkara yang mempengaruhi kelancaran tugas negara misal melanggar batas
kecepatan.
BAB III
PENUTUP
Dari paparan di atas dapat
disimpulkan diantaranya :
1.
Bahwa sistem hukum pidana di Indonesia berasal
dari KUHP yang berasal dari Belanda, sedangkan negara Saudi Arabia
berasal dari ijtihad Hadits dan Al Qur’an.
2.
Sistem peradilan Indonesia mengenal adanya
upaya hukum dan Saudi Arabia tidak ada.
3.
Sanksi pelaku dalam tindak pidana di Indonesia
fleksibel dan mampu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman,
karena tidak mengenal sakralitas apapun, hukum modern bisa dibuat dan dirubah
sesuai dengan keperluan. Sedangkan sistem hukum pidana di Saudi
Arabia harus sesuai dengan sumbernya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum Acara
Pidana Indonesia, (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta : 2008).
Prof. Moeljatno, S.H. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit Bumi Aksara.
Jurnal
prof. Prof. Erman Radjaguguk,
SH,LLM,Ph.D. Pluralisme Hukum Harus di akui.
http://www.google.com
Comments
Post a Comment