Tafsir Ahkam Jinayah - II,
Tafsir Surah Al Baqarah 219
Tafsir Ahkam Jinayat
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 tRqè=t«ó¡our #s$tB tbqà)ÏÿZã È@è% uqøÿyèø9$# 3 Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# ãNä3s9 ÏM»tFy$# öNà6¯=yès9 tbrã©3xÿtFs? ÇËÊÒÈ
219.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu
apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
A.
Penjelasan Kata
ôJyø9$ : Diambil dari kata al
khamru syai yang berarti menutup, atau terbungkus. Maksudnya semua yang membuat
otak tertutup, sehingga orang yang meminum khamar tidak dapat membedakan dan
tidak bisa berpikir secara baik. Kata khamar digunakan untuk juice anggur, kurma,
gandum atau yang lain.
Å£÷yJø9$ :
Artinya judi, ia dinamakan maisir karena pelakunya mendapatkan uang dengan
mudah dan gampang.
NøOÎ) :
Setiap yang membahayakan dan merusak juga membahayakan jiwa, akal, otak, badan,
harta, dan kehormatan.[1]
B.
Asbabun Nuzul
رَوَى أَحْمَدُ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ
اللهِ الْمَدِيْنَةَ وَرَأَى بَعْضَ أَصْحَابِ وَهُمْ يََشْرَبُوْنَ الْخَمْرَ
وَيَأْكُلُوْنَ الْمَيْسِرَ. فَسَألُوْا رَسُوْلَ اللهِ عَنْهُمَا فَأَنْزَلَ
اللهُ: "يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ
كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا.
“Imâm
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Abû Hurairah, dia (Abû Hurairah) berkata:
“Tatkala Rasûlullâh SAW. datang ke Madinah beliau (Nabi SAW.) melihat para
Sahabat sedang minum khamr (arak/minuman yang memabukkan) dan bermain judi.
Kemudian mereka (para Sahabat yang sedang mabuk dan bermain judi) menanyakan
kedua hal itu (minum khamr dan bermain judi) kepada Rasûlullâh SAW; Maka Allâh
SWT.
C.
Tafsir Ayat
Ayat ini menjelaskan kepada kaum mislimin tentang minuman khamr dan
judi yang mana keduanya termaksuk kelezatan yang orang arab tenggelam di
dalamnya.
Sampai waktu itu beluim turun ayat yang mengharamkan khamr dan
judi. Tetapi juga tidak ada nash dalam Al-Quran yang menghalalkannya.
Sebenarnya, Allah hendak membimbing tangan jamaah yang baru tumbuh ini untuk
melangkah demi selangkah ke jalan yang di dikehendakiNya, dan di tampakkanNya
di mata mereka peranan yang ditakdirkan untuknya. Dan peran besar ini tidak
cocok kalau di barengi dengan perbuatan sia-sia dengan berkutat dalam minuman
keras dan judi. Juga tidak cocok bagi orang yang menghabiskan umur, menguras
pikiran, dan menghabiskan tenaga untuk permainan orang-orang penganguran yang
hanya di sibukkan untuk mencari kesenangan diri sendiri saja.
Nash yang ada di hadapan kita ini merupakan langkah pertama dalam
mengharamkan khamr dan judi itu. Karena, sesuatu atau perbuatan itu ada kalanya
bukan kejahatan murni. Maka kebaikan itu adakalnya becampur dengan kejelekan dan kejelekan bercampur dengan
kebaikan di muka bumi ini. Akan tetapi, yang menjadi acuan penghalang atau
pengharamannya yaitu dominannya kebaikan atau kejelekan. Apabila dosa dalam
khamr dan judi itu lebih besar daripada manfaatnya maka hal itu menjadi illat
pengharamannya, meskipun pengharamannya tersebut tidak di sebutkan secara
spesifik. Di sini tampaklah bagi kita manhaj pendidikan islam dalam Al-quran
yang bijaksana, yang merupakan manhaj yang patut dijadikan acuan dalam banyak
dari syariat-syariatnya, kefardhuan-kefardhuannya, dan pengarahan-pengarahanya.
Kita menunjuk pada suatu kaedah dari kaidah manhaj ini sesuai dengan
pembicaraan khamar dan judi.[2]
Para fuqaha' berbeda pendapat dalam mengartikan syurb
khamr, menurut Imam Malik ra, Imam Syafi'i ra dan Imam Ahmad yang dimaksud
dengan khamr itu adalah minuman-minuman yang memabukkan, baik disebut khamr
atau tidak. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah ra berbeda antara meminum khamr
dan mabuk. Beliau mengharamkan meminum khamr baik sedikit maupun banyak. Adapun
minuman lain yang memabukkan bukan khamr menurut beliau disebut sebagai minuman
yang memabukkan. Menurutnya minuman yang memabukkan selain khamr keharamanya
bukan lidzatihi, maka yang haram adalah minum khamr yang memabukkan. [3]
Al Maisir ialah judi
bangsa arab yang di lakukan dengan aslam, yakni berhala. Menurut para
sahabat, tabiin dan lain-lain, segala macam permainan yang di lakukan dengan
taruhan di sebut maisir. Sehingga baik permainan anak sekalipun dimana terdapat
taruhan dan taruhan itu di ambil untuk yang menang maka itu juga di namakan
maisir. Berbeda dengan undian dalam pacuan kuda yag di bolehkan syara, menurut
ketentuan yang telah di terapkan. Tetapi perlombaan kuda, di mana ada taruhan
yang di dapat oleh pihak yang menang termaksuk juga judi yang di haramkan.
Menurut imam Malik, judi itu ada dua macam ada judi permainan dan ada judi
taruhan kalah menang. Adapun judi permainan seperti permainan catur yang tidak
ada taruhan, maka itu tidak termaksud judi yang di haramkan.[4]
Jumhur
ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa unsur
penting al-maysir itu adalah taruhan. Dalam pandangan mereka,
adanya taruhan ini merupakan 'illaħ (sebab) bagi haramnya al-maysir.
Oleh karena itu, setiap permainan yang mengandung unsur taruhan, seperti
permainan dadu, catur dan lotre, demikian pula permainan kelereng yang
dilakukan anak-anak yang memakai taruhan, adalahal-maysir dan hukum
melakukannya adalah haram. Ibrahim Hosen berpendapatbahwa 'illaħ bagi pengharaman al-maysir adalah
adanya unsur taruhan dan dilakukan secara berhadap-hadapan atau langsung,
seperti pada masa jahiliyah.
Hukuman
bagi peminum khamr terjadi perbedaan pada para sahabat, Dari Ibnu Abbas r.a,
bahwa menneggak khamr pada zaman rasulullah SAW di pukul dengan tangan atau
dengan sandal atau denga tongkat. Kemudian setelah Rasulullah SAW wafat jumlah
mereka semakin banyak, sehingga khalifah Abu bakar mengambil sebuah keputusan
untuk menjatuhkan hukaman cambuk sebanyak tujuh kali. [5] Had pelanggaran dari meminum minuman keras adalah dera
yang wajib diberlakukan atas pelakunya. Para ulama sepakat atas hukuman itu
meski mereka berbeda pendapat dalam jumlahnya. Mazhab Hanafi dan Maliki
mengatakan 80 kali deraan, sedangkan Imam Syafi’i berpendapat 40 kali dera. [6]
Comments
Post a Comment