TAFSIR AYAT TENTANG LOYALITAS TERHADAP KAFIR
PEMBAHASAN
TAFSIR AYAT TENTANG LOYALITAS TERHADAP KAFIR
I.
Surah Ali imran ayat 28
artinya:
Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya
kepada Allah kembali (mu).
1.
Penjelasan Kata
لَا يَتَّخِذِ : Tidak menjadikan
أوليآء : Kata Auliya’ adalah bentuk jama’ dari kata wali (yang berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong). Yakni janganlah menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin (juga teman dekat), dan jangan memberikan kepada mereka dengan memberi pertolongan sebagai bentuk loyalitas, menyatakan kecintaan dan dukungan (dalam masalah agama)
فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ : Yakni Allah ta'ala berlepas diri darinya, maka ia akan celaka
تُقَاةً : Melindungi diri dengan menggunakan lisan (ucapan) yaitu kata-kata yang dapat melunakkan sikap orang dan menjauhkan permusuhan.
وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ : Allah ‘Azza wa jalla memberi peringatakan dan kewaspadaan kepadamu terhadap siksaan-Nya yaitu jika kamu berbuat maksiat kepada-Nya.
2.
Tafsir Ayat
Abu Ja’far berkata: ini adalah larangan Allah SWT agar orang-orang
yang beriman tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai kawan dan penolong.
Oleh karena itu lafazh ÏGt di-sukun-kan
karena dalam keadaan Jazm , yang disebabkan oleh larangan, tampaknya
dengan kasrah karena kalimat tersebut bertemu dengan kalimat setelahnya
yang sukun .
Makna lafazh
tersebut adalah, “wahai kaum mukmin! Janganlah kalian menjadikan orang kafir
sebagai penolong. Janganlah kalian loyal kepada mereka dan menolong mereka atas
agama mereka dan menolong mereka dalam melawan kaum muslim, bahkan membuka aib
(kaum muslim). Sungguh, barangsiapa melakukan hal itu , maka lepaslah ia dari pertolongan Allah,
dan allah telah membebaskan dirinya, karena ia telah keluar dari agamanya dan
masuk dalam kekufuran. Lafazh illa an tattaqu minhum tuqatan ‘kecuali
karena (siasat) memelihara diridari suatu yang ditakuti dari mereka’, maknanya
adalah ‘kecuali kalian berada dalam kekuasaan mereka, sehingga kalian takut
jika sesuatu menimpa kalian karena mereka, maka kalian menampakkan loyalitas
hanya dengan lisan dan menyembunyikan permusuhan. Janganlah kalian ikut bersama
mereka dalam kekufuran, dan jangan pula membantu mereka dalam melawan seorang
muslim.”
Menurut al Qurthubi, ayat ini memiliki
kandungan dua hal, yang pertama larangan memberikan loyalitas dan kasih sayang
kepada orang kafir. Yang kedua bolehnya bertaqiyah (menyembunyikan
keimanan karena takut) karena lemahnya umat islam kala itu.
Di dalam Tafsir At-Thabari dijelaskan bahwa Ayat ini adalah larangan dari Allah ’azza wa jalla kepada
orang-orang mukmin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong,
pelindung, dan mencintainya.
Sedangkan dalam tafsir Ibnu Katsir (2/30) :
(Dengan ayat ini) Allah melarang hamba-hambanya yang beriman untuk berwala’
(memberikan loyalitas) kepada orang-orang kafir dan mengambil mereka sebagai
wali.[1]
Demikian pula kita akan temukan penjelasan yang
tidak jauh berbeda dalam tafsir-tafsir yang lain seperti tafsir Ibnu
Mundzir (1/165-166), tafsir Ibnu Hatim (2/628-629), Fath al Qadir (1/380)
dan yang lainnya.
Di dalam ayat ini Allah SWT melarang kaum
muslimin untuk menjadikan orang kafir sebagai kawan yang akrab. pemimpin atau
penolong, jika hal yang demikian ini akan merugikan mereka sendiri baik dalam
urusan agama maupun dalam kepentingan umat, atau jika dalam hal ini kepentingan
orang kafir akan lebih didahulukan daripada kepentingan kaum muslimin sendiri.
apalagi jika hal itu ternyata akan membantu tersebarluasnya kekafiran. Hal yang
demikian ini sangat dilarang oleh agama.
Allah mencegah orang-orang mukmin mengadakan
hubungan akrab dengan orang-orang kafir itu, baik disebabkan oleh kekerabatan,
kawan lama waktu zaman jahiliyah. ataupun karena bertetangga. Larangan itu
tidak lain hanyalah untuk menjaga dan memelihara kemaslahatan agama, serta agar
kaum muslimin tidak terganggu dalam usahanya untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki oleh agamanya.
Adapun bentuk-bentuk persahabatan dan persetujuan-persetujuan kerja sama yang kiranya dapat menjamin kemaslahatan orang-orang Islam tidaklah terlarang Nabi sendiri pernah mengadakan perjanjian persahabatan dengan Bani Khuza'ah sedang mereka itu masih dalam syirik.
Kemudian Allah dalam ayat ini menyatakan bahwa barang siapa menjadikan orang-orang kafir sebagai penolongnya. dengan meninggalkan orang-orang mukmin dalam hal-hal yang memberi mudarat kepada agama berarti dia telah melepaskan diri daripada perwalian Allah, tidak taat kepada Allah dan tidak menolong agamanya. Ini berarti pula bahwa imannya kepada Allah telah terputus, dan dia telah termasuk golongan orang-orang kafir. Sebagaimana yang di sebutkan dalam ayat ini, Al-Quran Surat Al-Maidah 51:
4 `tBur Nçl°;uqtGt öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3
Artinya:
Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka.
Tetapi orang-orang mukmin boleh
mengadakan hubungan akrab dengan orang-orang kafir, dalam keadaan takut
mendapat kemudaratan atau untuk memberikan kemanfaatan bagi orang-orang Islam.
Juga tidak terlarang bagi suatu pemerintahan Islam, untuk mengadakan perjanjian
persahabatan dengan pemerintahan yang bukan Islam, dengan maksud untuk menolak
kemudaratan, atau untuk mendapatkan kemanfaatan. Kebolehan mengadakan
persahabatan ini tidak khusus hanya dalam keadaan lemah saja tetapi boleh juga
dalam sembarang waktu, sesuai dengan kaidah:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak kerusakan lebih diutamakan
daripada mendatangkan kemaslahatan”
Berdasarkan kaidah ini, para ulama
membolehkan "taqiyah", yaitu mengatakan atau mengerjakan sesuatu yang
berlawanan dengan kebenaran untuk menolak bencana dari musuh, atau utuk
memelihara Keselamatan jiwa.
3.
Asbabun Nuzul
Ada dua riwayat mengenai sebab turunnya ayat
ini, yakni sebagai berikut :
1. Dalam tafsir AtTabari (3/228) dikatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Al-Hajjaj bin Amr, yang mempunyai teman orang-orang Yahudi yaitu Ka’ab bin Al-Asyraf, Ibnu Abi Haqiq dan Qais bin Zaid kemudian ada beberapa sahabat yang menasehatinya dan berkata :”Jauhilah mereka dan engkau harus berhati-hati karena mereka nanti akan memberi fitnah kepadamu tentang agama dan kamu akan tersesatkan dari jalan kebenaran.” Namun sahabat yang dinasehati mengabaikan nasehat ini, dan mereka masih tetap memberi sedekah kepada orang-orang Yahudi dan bersahabat dengan mereka, maka kemudian turun ayat tersebut. [2]
2. Sedangkan dalam tafsir Al-Qurthubi (4/58) disebutkan bahwa Ibnu Abbas a berkata bahwasanya ayat ini turun kepada Ubadah bin Shamit, bahwasanya beliau mempunyai beberapa sahabat orang Yahudi dan ketika Nabi n keluar bersama para sahabatnya untuk berperang (Ahzab) Ubadah berkata kepada Rasulullah “wahai Nabi Allah aku mambawa lima ratus orang Yahudi mereka akan keluar bersamaku dan akan ikut memerangi musuh.” Maka kemudian turunlah ayat tersebut.[3]
II.
Surat Al-Maidah
ayat 51-55
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.
Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada
penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi
dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana".
Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau
sesuatu Keputusan dari sisi-Nya. Maka Karena itu, mereka menjadi menyesal
terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.
Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan:
"Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah,
bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" rusak binasalah segala amal
mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi.
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap
lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha
Mengetahui.
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Tafsir
Ayat
’’wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang yahudi
dan nashrani menjadi pemimpin-pemimpin. (pangkal ayat 51)
Hal yang paling penting yang menjadi perhatian kita disini adalah
bahwa disebutkan nama golongan mereka, yaitu Yahudi dan Nashrani. Tidak disebutkan
nama kehormatan mereka, yaitu Ahlul kitab.
Ahli-ahli tafsir yang mendalami Balaghah kata Al-Qura’an mengatakan bahwa disini memang tidak
pantas disebut “janganlah kamu mengambil
Ahlul-Kitab jadi pemimpin,” sebab didalam kitab-kitab yang mereka terima itu
pada pokoknya tidak ada ajaran yang
memusuhi tauhid yang dibawa oleh nabi Muhammad s.a.w [4]
Kemudian dalam sambungan Ayat: “Dan barangsiapa yang menjadikan
mereka itu pemipin diantara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah termasuk
golongan dari mereka.”
Suku
ayat ini sangat penting diperhatikan, yaitu barangsiapa yang mengambil Yahudi
dan Nashrani menjadi pemimpinnya, tandanya ia telah termasuk golongan mereka.
Tidak mungkin seseorang yang memilih orang lain jadi pemimpinnya kalau dia
tidak menyukai orang itu. Meskipun dalam kesukaanya kepada orang yang lain
agama itu, ia belum resmi pindah kedalam agama orang yang disukainya itu.
Menurut riwayat dari Abdul Humaid, bahwa sahabat Rasulullah SAW yang terkenal
Hudzaifah bin Al-Yaman pernah berkata: “hati-hati tiap-tiap seseorang
daripada kamu bahwa ia telah menjadi Yahudi dan Nashrani, sedang ia tidak
merasa.”
Kemudian pada akhir ayat 51 “Sesungguhnya telah kami ciptakan
kamu itu Allah tidaklah akan member petunjuk kepada kaum yang zalim.”
Maka
orang yang mengambil Yahudi atau Nashrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah
sudah zalim. Kata zalim berasal dari kata Zhulm, artinya gelap. Mereka telah
memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut dalam jiwanya.
Di ayat ini ditegaskan bahwa yang dilarang ialah mengambil mereka
jadi pemimpin. Tetapi pergaulan manusia diantara manusia, yang sadar akan dirri
tidaklah terlarang. Seumpama sekarang ini negeri-negeri ummat Islam telah
merdeka, kita akan berhubungan dalam bidang ekonomi maka itu tidak menjadi
masalah, Islam tidak mengisolasikan diri dalam hal itu.
Demikian
juga tidak ada larangan berbaik-baik dengan tetangga yang memeluk agama lain,
rasulullah dalam berbagai riwayat telah memberi contoh dalam hal ini, misalnya
beliau pernah menyembelih kambing untuk makanannya sendiri, lalu khadamnya
disusuhnya segera mengantarkan sebagian daging itu kerumah tetangganya yang
Yahudi.
Asbabun-Nuzul
Ada berbagai pendapat telah dikemukakan tentang
sebab turunnya ayat ini. Salah satunya sebab turun yang diriwayatkan dalam
hadist ialah bahwa penduduk Arab Madinah,dari persukuan Khazraj dan Aus,
sebelum mereka memeluk islam dahulu, telah membuat perjanjian bantu-membantu
dengan persukuan-persukuan yahudi yang
ada di Madinah. Yaitu Bani Nadhir, Bani Quraidhah dan bani Qainuqa’. Setelah
agama Islam mereka peluk dan Nabi Muhammad s.a.w berpindah ke negeri Madinah,
Rasulullahpun membuat perjanjian-perjanjian dengan suku-suku Yahudi itu akan
hidup berdampingan secara damai, kalau kota madinah diserang dari luar, mereka
akan turut bertahan . dan keamanan mereka dijamin oleh Rasulullah. Maka
tersebutlah bahwasanya kemudian suku-suku Yahudi itu mungkir akan janjinya,
bahkan berkhianat.
Ayat 52-53
menjelaskan bahwa adanya larangan Allah Swt terhadap segala bentuk
persahabatan dan hubungan yang menyebabkan orang-orang Kafir berkuasa, ayat ini
menjelaskan adanya sekelompok orang yang imannya lemah
atau munafik.
Mereka berlomba-lomba untuk menjalin
persahabatan dan memperoleh dukungan orang-orang Kafir. Al-Quran mengatakan, suatu
saat dimana Islam memegang kendali kekuasaan dan memperoleh kemenangan, berkat
pertolongan gaib Allah, maka yang menjalin hubungan dengan orang-orang Kafir
karena rasa takut akan menyesali perbuatan mereka. Segala apa yang mereka sembunyikan pasti terbongkar.
Saat itulah orang-orang Mukmin yang sebenarnya dengan keheranan
mengatakan, orang-orang yang mengaku secara lisan telah beriman, bahkan
bersumpah atas pengakuannya itu dengan serius, mengapa sekarang mereka
kehilangan segala sesuatu, bahkan seluruh pekerjaan mereka hancur lebur dan
musnah.
Ayat 54
menjelaskan bahwa, setelah ayat-ayat sebelumnya, dimana orang-orang Mukmin
dilarang menerima segala bentuk dominasi orang-orang Kafir, ayat ini juga
memberi peringatan kepada Mukminin agar berhati-hati. Karena perkara ini
dapat menyebabkan keluarnya kalian dari agama yang hak, yakni menjadi
kafir dan murtad. Maka dari itu hendaknya kalian mengerti bahwa apabila kalian
bergerak menuju orang-orang Kafir hanya untuk mencari keselamatan dari mereka,
atau berharap bisa mendapatkan bantuan mereka di saat-saat krisis,
ketahuilah agama Allah tetap tidak akan hancur. Karena masih ada
orang-orang Mukmin dengan jiwa yang dipenuhi iman dan kecintaan kepada
Allah. Mereka tak pernah gentar menghadapi mara bahaya.
Yang menarik dalam ayat ini
ialah Allah Swt menyifati orang-orang Mukmin dengan
mengatakan, meskipun mereka sangat tegas dan keras terhadap musuh, tetapi
terhadap sesama mereka sangat lemah lembut dan bersahabat. Dalam riwayat
disebutkan bahwa sewaku turunnya ayat ini Nabi Muhammad Saw memegang
pundak Salman al-Farisi dan mengatakan, kelompok
orang-orang yang disebut dalam ayat ini adalah engkau dan kaummu dari
negeri Persia.
4.
Kandungan
Politik
Setelah
menafsirkan beberapa ayat di atas, itu berarti kita
telah mempelajari ayat-ayat yang cukup banyak yang berhubungan
dengan masalah sosial dan politik Islam. Hal ini
mengindikasikan begitu komprehensifnya al-Quran dalam mengatur kehidupan
manusia, serta menjamin kebahagian mereka di dunia maupun di akhirat.
Dalam ayat-ayat di atas
Allah Swt menyinggung salah satu hal terpenting dalam
kehidupan manusia. Disebutkan, orang-orang Mukmin tidak
boleh menjadikan orang-orang Kafir sebagai rujukan atau pemimpin mereka. Karena
setiap kali kalian menampakkan simpati kepada mereka, ternyata mereka
justru semakin tidak menyukai kalian. Mereka hanya suka pada golongan mereka
sendiri.
Adapun kandungan-kandungan politik yang dapat
dipetik dari ayat-ayat di atas antara lain:
1.
Dalam surat Ali Imran ayat 28 Allah telah
membuat suatu undang-undang dasar kepada orang mukmin bahwa syarat untuk
menjadi pemimpin harus beragama Islam, karena itu orang mukmin dilarang memilih
orang kafir (nonmuslim) sebagai pepimpin (wali).
2.
Apabila orang islam berada dalam wilayah
kekuasaan kafir (non muslim) maka dibolehkan untuk menampakkan loyalitas hanya dengan lisan dan menyembunyikan
permusuhan.
3.
Di dalam pemerintahan Islam, penguasa Islam
dibolehkan memberikan kepercayaan kepada pemeluk agama lain memegang satu
jabatan, sebab pimpinan tertinggi adalah di tangan Islam. Dan itu boleh
diberikan apabila tidak ada ke khawatiran. Tetapi kalau timbul khawatir
tidaklah boleh.
4.
Dalam hubungan politik luar negeri
negara Islam, segala bentuk hubungan yang dapat membuat orang-orang Kafir
menjadi penguasa kaum Muslimin adalah terlarang.
5.
Suka
bersahabat dengan orang-orang Kafir dan meminta dukungan
mereka merupakan tanda-tanda munafik dan lemah iman.
6. Iman
yang lemah merupakan penyebab rasa takut terhadap kekuatan-kekuatan musuh dan
menjadi penyebab takluknya mereka dihadapan musuh tersebut.
7. Islam
menganut prinsip Ilahiyah. Kekuatan politik, kemampuan ekonomi, keberhasilan
dalam melaksanakan undang-undang, semua itu ditangan Allah Swt dan
akan diberikan kepada mereka yang beriman teguh
[1] Ibnu Katsir,
Tafsir Al-Quranul ‘adhzim, hal. 30 jilid 2
[2] Imam Ghalib Athabari, Tafsir Athabari, hal.
228 jilid 3
[3] Imam
Al-Qurthubi, Jami’ Al Ahkam fi Qur’an, hal.58 jilid 4
[4]
Prof. Dr. Haji Abdulmalik Abdul Karim Amrullah (Hamka) , Tafsir Al-Azhar Juzu’
, Pustaka Nasional: Singapura. Hlm 1762
Comments
Post a Comment