MAKALAH PENGERTIAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positifsaat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asaslegalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasionalyang akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secaraeksplisit sebagai pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidakdipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strictliability, vicarious liability, erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon, culpa in causa dan pertanggungjawaban pidanayang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana. Maka dari ituada pula ketentuan tentang subjek berupa korporasi. Semua asas itubelum diatur dalam KUHP (Wvs).
Dilihat dari sudut perbandingan KUHP Negara lain, asaskesalahan atau asas culpabilitas pada umumnya diakui sebagai prinsipumum. Perumusan asas ini biasanya terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berhubungan denganmasalah kesengajaan dan kealpaan.
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “ tidak dipidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld ; actus non facit reum nisi mens sir rea ) “. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.
Namun lain halnya dengan hukum pidana fiskal, yang tidak memakai kesalahan. Jadi jika orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau dirampas. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit ( fait materielle )
B. Rumusan Permasalahan
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa definisi dari pertanggungjawaban pidana itu?
2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukumpidana positif saat ini?
BAB II
PEMBAHASAN
Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban
A. Definisi Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga denganteorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak[1].
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.[2] Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.[3]
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektifyang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdirisendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana.Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengansendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus adapertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir denganditeruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatanyang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektifkepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.[4]
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.[5] Orangnya yang aansprakelijkatau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.[6]
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawabanpidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalanpemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan danpenetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskandari berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut :
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalamAn Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakanpendapatnya ”I …. Use the simple word “liability” for the situationwhereby one exact legally and other is legally subjected to theexaction[7]
Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atauliability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofisdan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebihjauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama,menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untukmembayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yangtelah “dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindunganundang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatukedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeserkedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadisuatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebu tidak lagi dari nilai suatupembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian ataupenderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[8]
B. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum PidanaPositif
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwadalam menjatuhkan pidana unsur “ tindak pidana” dan“pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihatdalam bentuk skema berikut:
TINDAK PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN = PIDANA |
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsuryang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektifyang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).
a. Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkankesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak adaketerangan lebih lanjut dalam KUHP.
Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakahpasal-pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arahpertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian terhadapasas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
b. Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP
Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, Seperti contoh dalam perundang-undangan dibawah ini :
a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak PidanaEkonomi;
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan LingkunganHidup.
Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpangdari ketentuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan.
Dari masing-masing undang- undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawabanpidana sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan.
Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.[9] Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.
Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.[10]
Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.[11] Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.
Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Tindak pidana tidak berdiri sendiri, dia baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.
Pertanggungjawaban pidana dikarenakan berkait dengan unsur subyektif pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat berupa pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya.
Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita , Romli, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan
Pertama, Jakarta: Yayasan LBH.
Hamzah, Andi, DR. SH. 1994, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Hatrik, Hamzah, SH. MH. 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo.
Huda, Choerul, Dr.SH. MH. , 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan,
Jakarta: Kencana.
Moeljatno, Prof. SH. 2008, Asas Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta:
Rineka Cipta
Prakoso, Djoko, SH. 1987 Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia.
Yogyakarta: Liberty.
Zaenal Abidin, Andi, 1983, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika.
Website :
Perundang-undangan:
Undang-undang No. 7 tahun Drt tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Cetakan Ke 18, Bumi Aksara,
Jakarta.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, Jakarta.
[1] http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html
[2] Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11
[3] Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987. Hal 75
[4] Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).
[5] DR. Andi Hamzah, SH. Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal.131
[6] W.P.J. Pompe, op.cit hal. 190
[7] Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama Jakarta: Yayasan LBH, 1989, hal 79
[10] Dr. Choerul Huda, SH. MH. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006 hal. 62
Comments
Post a Comment