Tugas ushul fiqh 2


Teuku Aliyul imam (141109103)
Rifqi Agusni (141109099)

DALALATUD-DALALAH ATAU DALALAN NASH
Dalalatud-dalalah atau Dalalatun nash ialah penunjukan suatu lafazh bahwa hukum yag dipetik dari nash yang disebutkan berlaku pula bagi perbuatan yang tidak dituturkan dalam nash, karena adanya persamaan ‘illat antara kedua macam perbuatan tersebut.[1] Para ahli bahasa mengakui bahwa ‘illat itulah yang menjadikan sebab untuk ditetapkan hukum bagi perbuatan yang tidak disebutkan dalam nash.
Menurut dalam buku kaidah-kaidah hukum islam karangan Prof. DR. Abdul Wahhab Khallaf, dalalah nash adalah makna yang dipahami dari jiwa nash dari rasionalnya. Maka apabila ungkapannya menunjukkan atas hukum mengenai kejadian karena illat (alasan) yang menjadi dasar hukum ini, dan terdapat kejadian yang sma illat hukumnya dengan kejadian pertama atau bahkan lebih utama daripadanya.[2]
            Menurut  Abu Zahrah :
ذ لالة اللفظ علي ثبوت حكم ما ذ كر لما سكت عنه لفهم المنا ط بمخر د فهم اللغة
          Dilalah lafaz yang disebutkan dalam penepatan hukum untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa.[3]
Dalalatud-dalalah ini juga disebut Fahwal-Khitab atau Laul-khithab, Ulama Syafi’iyah menamai Mafhum muwafaqah, karena adanya persamaan hukum antara yang tidak disebutkan dengan disebutkan dalam nash.
Dinamakan Dalalatud-dalalah, adalah karena hukum yang ditetapkannya bukan diambil secara langsung dari madlul lafazh, akan tetapi diambil dari makna madlul lafazh.
Oleh karena pemikiran manusia dalam hal ini menjalar dari madlul lafazh kepada makna yang lebih umum yang dapat mencakupnya dan mencakup pula yang lain, maka Dalalatud-dalalah ini pada hakikatnya adalah Dalalah nash. Menjalarnya pemikiran ini dapat terjadi pada sneseorang ahli bahasa tanpa memerlukan ijtihad atau istimbat. Dan inilah perbedaan antara Dalalatud-dalalah dengan qiyas.
Misalnya firman Tuhan :
فَلَا تَقُلْ لَهُمَآ أُفّ (الاسراء : 23)
Artinya :
Maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan uf…… (al-isra’ : 23)

Dalalatud dalalah atau Dalalah al-nash terbagi dua :
a.       Hukum yang akan diberlakukan kepada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaan dalam nash, Keadaannya lebih kuat dibandingkan dengan kejadian yang ada dalam nash. Dilalah al-nash dalam bentuk ini disebut “Mafhum Aulawi”. Diantara ulama ada yang  menyebut qiyas jail.
b.      Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaanya sama dengan kejadian yang ada dalam nash-nya. Dilalah al-nash dalam bentuk ini disebut “Mafhum Musawi”.[4]
Kedua bentuk dilalah diatas disebut “dilalah al-nash” karena makna yang dimaksud dalam dipahami dari nash yang disebutkan. Dinamakan juga mafhum muwafaqah karena adanya kesamaan hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang disebutkan.



DALALAH AL-IQTIDHA ATAU IQTIDHA NASH
Adapun yang dimaksud dengan dilalah iqtidha’ adalah
دلا لة الايماء هي دلالة اللفظ علي ما يكون مقصوداللمتكم ويتوقف عليه صد ق الكلام اوصحته عقلا اوسرعا
Dilalah iqtidha’ adalah pengertin yang dimaksudkan oleh pembicara dan kebenaran atau ketepatan pengertian ucapan itu bergantung pada akal atau syara’.
Dalam arti lain Dalalah iqtidha’ adalah penunjukan lafaz kepada sesuatu yang tidak disebutkan oleh nash. Akan tetapi, pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Dengan kata lain nash tersebut tidak akan memberi pengertian, jika sekiranya tidak membubuhkan suatu lafazh atau perngertian yang sesuai.[5]
Menurut sebagian ahli ushul :
دلالة اللفظ علي حر سك وت عنه يتو قف صد ق الكلا م عليه
Penunjukan lafaz kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang kebenarannya tergantung kepada yang tidak tersebut itu.
Para ahli ushul membagi dilalah iqtidha’ itu segi keharusan memunculkan kata yang tak tersebut itu kepada tiga macam :
1.      Sesuatu yang harus di”takdir”kan (dimunculkan) untuk kebenaran suatu ucapan atau kalimat secara hukum.
2.      Sesuatu yang harus di”takdirk”kan (dimunculkan) untuk kebenaran suatu ungkapan atau kalimat secara akal.
3.      Sesuatu yang harus dimunculkan untuk sahnya ucapan secara hukum.[6]



[1] Prof. DR. Mukhtar Yahya, Dasar-dasar pembinaan hukum islam fiqh islami (bandung : PT. Al-Ma’arif 1986) hal 298
[2] Prof. DR. Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-kaidah hukum islam ilmu ushulul fiqh (Jakarta : PT. Raja grafindo Persada 2002) hal 231
[3] Prof. DR. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 (Jakarta : Kencana 2009)
[4] Prof. DR. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 (Jakarta, Kencana 2009)
[5] Prof. DR. Mukhtar Yahya, Dasar-dasar pembinaan hukum islam fiqh islami (bandung : PT. Al-Ma’arif 1986) hal  302
[6] Prof. DR. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 (Jakarta, Kencana 2009)

Comments

Popular posts from this blog

Hadits Tentang Qazaf

Makalah Fiqh Mawaris Tentang Dzawil Furudh

Fonologi