Makalah MK Hadist Ahkam Jinayah I


HIRABAH DAN BUGHAH
A.    Hirabah
عن قتا د ة عـن انس ان نا سا من عـكلـو وعـريـنة قـد مـوا عـلى رسول الله صلى الله عـليه وسلم , وتـكلموا بالاسلا م , فاستو خـوا المد ينة , فامر لهم النبي صلى الله عـليه واله وسلم بذ ود, وراء , وامرهــم ان يخـرجـوا فالـيشربـوامن ابوالها والبـا نها , حتـى اذا كانوا بنا حية الحرة كـفروا بعـد اسـلا مهم , و قـتلوا راعى الـنبي صلى الله عليه وسلم , واستا قـو الذ ود , فبلغ ذلك الـنبي صلى الله عليه وسلم , فبعث الطلب في اثا رهم. فامر بهم , فسمروا اعـينهم , وقطعـوا ايد يهم , وتركـو فى ناحية الحرة , حتى ما تو توا على حالهم . (رواه الجمعة)
Artinya :
Dari  Anas ibn malik menerangkan : beberapa orang dari ukal dan urainah datang menemui Rasulullah saw. Dan mengikrarkan keislamannya.  Mereka menyuruh mereka membawa beberapa ekor unta serta seseorang pengembala.  Nabi menyuruh mereka keluar dari kota madinah. Mereka meminum air kencing unta dan susunya. Sesampai disudut kota al-harrah, mereka kembali murtad ( setelah sebelumnya mengaku memeluk agama islam ) dan memebunuh sipengembala yang ditunjuk Nabi, dan mereka membawa lari unta-unta itu. Penghianatan itu sampai beritanya kepada Nabi saw. Nabi mengirimkan pasukan untuk mengejar mereka, dan menyuruh para sahabat untuk mengambil tindakan terhadap mereka. Mata mereka dicongkel dan tangqn mereka dipotong,  dan membiarkan mereka terkapar dibawah terik matahari dikota al-harrah, dan mereka mati dalam kondisi tersebut”. (H.R.Aljamaah;Almuntaqa II : 732 )


Definisi Hirabah
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama yang apabila dilihat redaksinya terdapat beberapa perbedaan. Namun sebenarnya inti permasalahannya tetap sama.
Menurut Hanafiyah Hirabah adalah keluar untuk megambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan atau mengambil harta atau membunuh orang.
Menurut syafi’iyah, definisi hirabah adalah keluar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan dengan berpegang kepada kekuatan dan jauh dari pertolongan (bantuan).[1]
Hirabah termasuk tindak pidana terbesar, dengan sebab itulah hukuman untuk tindakan ini sangat berat.
Tentang hukuman bagi pelaku hirabah firman Allah surat Al-maidah ayat 33
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tƒur Îû ÇÚöF{$# #·Š$|¡sù br& (#þqè=­Gs)ム÷rr& (#þqç6¯=|Áム÷rr& yì©Üs)è? óOÎgƒÏ÷ƒr& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYムšÆÏB ÇÚöF{$# 4 šÏ9ºsŒ óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# ( óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOŠÏàtã ÇÌÌÈ .
Artinya:          
            Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,
Secara terperinci,  hukuman bagi kejahatan mereka adalah sebagai berikut:
a.       Apabila mereka merampas harta dan membunuh korban, maka hadnya adalah dihukum mati kemudian disalib.
b.      Apabila mereka merampas harta korban tetapi tidak membunuhnya,  maka hadnya dipotong tangan dan kakinya secara silang.
c.       Apabila penjahat itu hanya membunuh korbannya,  tetapi tidak mengambil hartanya, maka had nya adalah dihukum mati sebagaimana hukuman qishash.
d.      Apabila mereka tidak sempat merampas harta atau tidak membunuh korbannya, misalnya sudah tertangkap sebelum berhasil melakukan kejahatan, maka had nya adalah dipenjarakan atau diasingkan,  sehingga pelaku kejahatan menjadi insaf.[2]

B.     Bughah

من خرج من الطاعة ؤفارق الجماعة ثم مات مئتة جاهلئىة
(رؤه مسلم)
Artinya:  barangsiapa keluar dari taat dan memisahkan diri dari jamaah , kemudian ia mati, maka mati nya termasuk mati jahiliyah. (H.R muslim)
Secara etimologi, bughah berarti ‘’mencari’’ atau “berupaya”. Sedangkan dalam terminology fiqih, bughat berarti seorang yang menentang imam dengan cara keluar dari kepemimpinannya, tidak mentaatinya lagi, atau menolak kewajiban yang dibebankkan kepada mereka. Seseorang dapat dikatagorikan sebagai bughat apabila mempunyai kekuatan dan alas an keluar dari kepemimpinan imam. Bughah juga dilabelkan kepada seseorang yang menolak kewajiban, mempunyai pengikut dan mempunyai imam yang diangkat.[3]
Hadist lain yang diriwayatkan oleh Muslim dari Arfajah ibn Syuraih, ia berkata:
سمعت رسؤل الله صلي الله عليه ؤسللم يقؤل : من اتاكم ؤامركم جميع ئرئد ان ئفرق جماعتكم فاقتلؤه(اخرجه مسلم)
Artinya:
Saya mendengar rasulullah saw. Bersabda: “barangsiapa yang dating kepada kamu sekalian ,sedang kamu telah sepakat kepada seorang pemimpin, untuk memecahbelah kelompok kalian, maka bunuhlah ia.” (H.R Muslim)
Unsur-unsur jarimah bughah (pemberontakan) ada tiga macam:
1.      Pembangkangan terhadap kepala Negara (imam)
2.      Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan
3.      Adanya niat yang melawan hukum (Al-QasdAljinaiy)[4]
1.Pembangkangan terhadap kepala Negara (imam)
Adalah menentang kepada Negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga Negara. Kewajiban atau hak tersebut bias merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bias juga berupa haki ndividu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan (individu). Contohnya seperti penolakan untuk membayar zakat, penolakan untuk melaksanakan keputusan hakim, seperti hukuman had zina atau hukuman qishas. [5]
Akan tetapi menurut kesepakatan fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada pemerintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melain kan merupakan suatu kewajiban. Hal ini oleh ketaatan tidak diwajibkan kecuali didalam kebaikan, dan tidak boleh ada kemaksiatan.   Oleh karena itu apabila seorang imam (kepala Negara) memerintahkan suatu yang bertentangan dengan syarat maka tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk menaat iapa yang diperintahkannya.[6]
2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Kekuatan.
Agar tindakan pembangkangan dianggap sebagai pemberontakan, diisyaratkan harus disertai dengan penggunaan dan penggerahan kekuatan.  Apabila hal tersebut tidak disertai dengan penggunaan kekuatan maka hal itu tidak diangggap sebagai pemberontakan. Contohnya seperti keengganan untuk membaiat (mendukung) seorang imam, setelah ia didukung oleh suara mayoritas (orang banyak), walaupun ia mengajak orang lain untuk memecat imam tersebut, dan ia tidak tunduk kepadanya; atau menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru sebatas ajakan semata. Dalam sejarah misalnya, Saiyidina Ali pernah menolak untuk membaiat Abu Bakar, walaupun kemudian ia membaiatnya. Demikian pula Sa’ad ibn Ubadah tidak mau membaiat Abu Bakar sampai ia meninggal. Contoh lain seperti pembangkangan (keluarganya) kelompok khawarij dari Sayidina Ali. Mereka tidak dianggap sebagai pemberontak, sampai mereka mewujudkan sikapnya untuk menggunakan kekuatan. Jadi apabila baru sebatas ide, sikap tersebut belum termasuk pemberontakan.[7]
3.Adanya Niat yang Melawan Hukum
Untuk bisa dianggap keluar dari Imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam , atau tidak mentaatinya, atau untuk menolak melaksanakan kewajiban yang dibebankan olehs yara’. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai pemberontak. Apabila seorang pembangkang melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah (penggunaan kekuatan) atau setelah selesainya pemberontakan maka disini tidak diperlukan adanya niat untuk memberontak, karena dalam dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.[8]
Hikmah Pelarangan Tindakan Bughah
1.      Memberikan jaminan stabilitas social serta terjaminnya rasa kedamaian dan kerukunan didalam masyarakat.
2.      Upaya mencegah terjadinya perpecahan dan desintegrasi.
3.      Memberikan kekuasaan pemerintah atau imam yang sah menurut hukum untuk menjamin persatuan.
4.      Memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk dapat berperan serta dalam mewujudkan kebersamaan dan mentaati aturan hukum yang telah ditetapkan.
5.      Memberikan pelajaran kepada masyarakat untuk dapat menyelesaikan permasalahan dengan jalan damai dan menjadikan perbedaan sebagai sebuah kekuatan untuk membangun pondasi kebersamaan dan kekeluargaan.



DAFTAR PUSTAKA
Muchlish Ahmad Wardi, hukum pidana islam , Sinar Grafika, Jakarta 2005
Alwi Bashori. Fikih, pena nusantara: Jakarta 2006,
Azhim Abdul, Al-wajiz ensiklopedi fiqih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih, pustaka As-sunnah: Jakarta, 2006





[1] Ahmad Wardimuchlish, hukumpidanaislam,SinarGrafika, Jakarta 2005. Hlm 94
[2]BashoriAlwi. Fikih, penanusantara: Jakarta 2006, hlm 47
[3]BashoriAlwi. Fikih, penanusantara: Jakarta 2006, hlm 48
[4] Ahmad Wardimuchlish, hukumpidanaislam,SinarGrafika, Jakarta 2005. Hlm 111`
[5] Ibid, Ahmad WardiMuchlish. Hlm 111
[6] ibid
[7] Ibid. hlm 114-115
[8] Ibid. hlm 116

Comments

Popular posts from this blog

Hadits Tentang Qazaf

Makalah Fiqh Mawaris Tentang Dzawil Furudh

Fonologi