Delik Adat
1. Pengertian
Ruang lingkup Delik Adat meliputi lingkup dari
hukum perdata adat, yaitu hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum keluarga
dan hukum waris. Didalam setiap masyarakat pasti akan terdapat ukuran mengenai
hal apa yang baik dan apa yang buruk. Perihal apa yang buruk atau sikap tindak
yang dipandang sangat tercela itu akan mendapatkan imbalan yang negative.
Soepomo menyatakan bahwa Delik Adat :
“ Segala perbuatan atau kejadian yang sangat
menggangu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang
mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik
terhadap masyarakat seluruhnya”
Selanjutnya dinyatakan pula :
“Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran
yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta
pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat”.
Walaupun agak abstrak, tetapi dapat diperoleh suatu
pedoman sebagai ukuran dalam menentukan sikap-tindak yang merupakan kejahatan,
yaitu sikap tindak yang mencerminkan ketertiban batin masyarakat dengan
ketertiban dunia gaib.
Dengan demikian (Purnadi Purbacaraka, Soerjono
Soekanto mengatakan :
“...
menurut pandangan adat, ketertiban ada dalam alam semesta atau osmos.
Kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta warga
–warganya ditempatkan didalam garis ketertiban kosmis tersebut.
Bagi setiap orang garis ketertiban kosmis tersebut
harus dijalnkan dengan spontan atau serta merta........ .Penyelewengan atau
sikap-tindak (perikelakuan) yang menggangu keseimbangan kosmis, maka para
pelakunya harus mengembalikan keslarasan yang semula”
Menurut Teer Haar, suatu delik itu sebagai
tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang
materiil dan immaterial milik hidup seorang atau kesatuan orang-orang yang
menyebabkan timbulnya suatu reaksi adat, yang dengan reaksi ini keseimbangan
akan dan harus dapat dipulihkan kembali.
Pada dasarnya suatu adat delik itu merupakan suatu
tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhannya yang hidup dalam
masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan
masyarakat yang bersangkutan, guna memulihkan keadaan ini maka terjadilah
reaksi-reaksi adat.
Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat diambil
suatu landasan untuk dapat menentukan sikap-tindak yang dipandang sebagai suatu
kejahatan, dan merupakan petunjuk mengenai reaksi adat yang akan diberikan.
Dengan memperhatikan pandangan di atas, maka dapat
diadakan klasifikasi beberapa sikap-tindak yang merupakan kejahatan, yaitu :
A. Kejahatan karena merusak dasar susunan masyarakat.
a. kejahatan yang merupakan perkara sumbang, yaitu mereka yang melakukan
perkawinan, padahal diantara mereka itu berlaku larangan perkawinan. Larangan
perkawinan itu dapat berdasarkan atas :
·
eratnya
ikatan hubungan darah
·
struktur
social (stratifikasi social), misalnya antara mereka yang tidak sederajat
b. kejahatan melarikan gadis (“schaking”), walaupun untuk dikawini
B. Kejahatan terhadap jiwa, harta, dan masyarakat pada umumnya
a. Kejahatan terhadap kepala adat
b. Pembakaran
c. Penghianatan
2.
Beberapa
jenis delik dalam lapangan hukum adat
a.
Delik yang paling berat adalah segala
pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahirdan dunia gaib serta
segala pelanggaran yang memperkosa susunan masyarakat
b.
Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga
masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat.
c.
Delik
yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung
d.
Segala
perbutan dan kekuatan yang menggangu batin masyarakat, dan mencemarkan suasana
batin masyarakat
e.
Delik
yang merusak dasar susunan masyarkat, misalnya incest
f.
Delik
yang menentang kepentingan umum masyarakat dan menentang kepentingan hukum
suatu golongan family
g.
Delik
yang melanggar kehormatan famili serta melanggar kepentingan hukum seorang
sebagai suami.
h.
Delik
mengeani badan seseorang misalnya malukai
3. Obyek delik adat
Didalam bagian ini akan dijelaskan perihal reaksi
masyarakat terhadap perilaku yang dianggap menyeleweng. Untuk hal ini,
masyarakat yang diwakili oleh pemimpin-pemimpinnya, telah menggariskan
ketentuan-ketentuan tertentu didalam hukum adat, yang fungsi utamanya, adalah
sebagai berikut :
a.
Merumuskan pedoman bagaiman warga masyarakat
seharusnya berperilaku , sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat
b.
Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam
masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
c.
Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula
pulih kembali
d.
Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur
hubungan antara warga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi
perubahan-perubahan.
Dengan demikian maka perilaku tertentu akan
mendapatkan reaksi tertentu pula. Apabila reaksi tersebut bersifat negative,
maka masyarakat menghendaki adanya pemulihan keadaan yang dianggap telah rusak
oleh sebab perilakuperilaku tertentu (yang dianggap sebagai penyelewengan)
Didalam praktek kehidupan sehari-hari, memang sulit
untuk memisahkan reaksi adat dengan koreksi, yang seringkali dianggap sebagai
tahap-tahap yang saling mengikuti.
Secara
teoritis, maka reaksi merupakan suatu perilaku serta merta terhadap perilaku
tertentu, yang kemudian diikuti dengan usaha untuk memperbaiki keadaan, yaitu
koreksi yang mungkin berwujud sanksi negatif . Rekasi adat merupakan suatu
perilaku untuk memberikan, klasifikasi tertentu pada perilaku tertentu,
sedangkan koreksi merupakan usaha untuk memulihkan perimbangan antara dunia
lahir dengan gaib. Betapa sulitnya
untuk memisahkan kedua tahap tersebut, tampak, antara lain dari pernyataan
Soepomo yang mencakup :
a. pengganti kerugian “imateriel” dalam pelbagai rupa seperti paksaan
menikah gadis yang telah dicemarkan
b. bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang
sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
c. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran
gaib
d. Penutup malu, permintaan maaf
e. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati
f. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di lua tata hukum
Dengan
demikian, maka baik reaksi adat maupunkoreksi, terutama bertujuan untuk
emmulihkan keseimbangan kosmis, yang mungkin sekali mempunyai akibat pada warga
masyarakat yang melakukan penyelewengan.
4. Petugas hukum
untuk perkara adat
Menurut Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang
mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935
Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa
diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik
adat.
Didalam kenyataan sekarang ini, hakim perdamaian
desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak juga sekaligus delik menurut KUH
Pidana.
Delik-delik
adat yang juga merupakan delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun
telah menerima dan menganmgap sebagai sutu yang wajar bila yang bersalah itu
diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim pengadilan Negeri dengan pidana yang
ditentukan oleh KUH Pidana.
Comments
Post a Comment