Fonologi

Hakikat Fonologi 

Linguistik yang objeknya bahasa, terbagi atas bidang-bidang bawahan.
1. Fonologi sebagai subdisiplin linguistik menetapkan objek kajiannya adalah          unsur  bahasa yang terkecil atau bunyi bahasa.
2. Sebagai suatu subdisiplin linguistik, fonologi memiliki dua cakupan, yaitu             cakupan dalam arti yang luas dan arti yang sempit.
3. Dalam arti luas, fonologi mencakup bunyi-bunyi bahasa secara umum baik  
     bunyi-bunyi umum atau bunyi-bunyi pembeda makna. Dalam arti luas fonologi     mencakup kajian fonetik dan fonemik. Dalam arti sempit, fonologi mengkaji         bunyi- bunyi bahasa yang berfungsi pembeda makna.
4. Sebagai suatu ilmu, fonologi mendasarkan kegiatannya pada pikiran-pikiran         tentang  bunyi bahasa (premis-premis) dan pernyataan landasan kerja yang         disebut dengan hipotesis kerja


Dasar-dasar Fonologi 

1. Beberapa pendekatan atau pandangan terhadap ujaran menjadi dasar bagi           studi fonologi.
2. Dasar-dasar fonologi dibedakan atas dasar-dasar fonetik dan dasar-dasar             fonemik.
3. Dasar-dasar fonetik mencakup jenis fonetik, alat bicara, terjadinya bunyi               bahasa (tonasi) dan klasifikasi bunyi bahasa.
4. Penjenisan fonetik didasarkan adanya tiga pandangan terhadap ujaran yaitu:
     a. Ujaran dipandang sebagai hasil produksi bunyi bahasa yang melibatkan alat         ucap (anatomi dan fisiologi). Hal ini yang mendasari adanya fonetik                     artikulatoris.
    b. Ujaran dipandang sebagai gejala fisik yang berupa gelombang bunyi, yang           menjadi dasar adanya fonetik akustik.
     c. Gelombang-gelombang bunyi itu diterima oleh pendengar, dipahami dan              ditafsirkan maknanya. Hal ini menjadi dasar adanya fonetik auditoris.
5. Ujaran dipandang selesai suatu organisasi bunyi bahasa yang bermakna, hal         inilah yang mendasari kajian fonemik (fonologi dalam arti sempit).
6. Dasar-dasar fonemik mencakup: fonem, identifikasi fonem, klasifikasi fonem,       khasanah fonem.
7. Identifikasi fonem untuk menentukan status bunyi apakah membedakan             makna atau tidak, melalui kata-kata yang mirip.
8. Khasanah fonem atau inventarisasi fonem suatu bahasa adalah jumlah suatu       fonem yang ada dalam suatu bahasa, yang didasarkan pada klasifikasi vokal       dan konsonan.

KEGIATAN BELAJAR3
Tujuan Fonologi 

1. Fonologi, sebagian dari studi linguistik berdasarkan tujuan kajiannya dibedakan     atas fonologi teoretis dan fonologi praktis.
2. Tujuan fonologi didasarkan atas tujuan teoritis dan tujuan praktis.
3. Fonologi mencakup atas studi fonetik dan fonemik.
4. Tujuan fonetik teoretis adalah untuk menemukan kaidah-kaidah bunyi secara       umum.
5. Tujuan fonetik praktis adalah menemukan kaidah-kaidah umum bunyi bahasa       untuk keperluan memecahkan masalah secara praktis, misalnya latihan lafal         untuk penderita tunawicara.
6. Tujuan fonemik teoretis adalah menemukan kaidah-kaidah bunyi bahasa             tertentu, misalnya fonem hambat /b, d, g/ dalam bahasa Jawa.
7. Tujuan studi fonemik praktis adalah untuk keperluan memecahkan masalah,         misalnya ejaan.
8. Tujuan-tujuan fonologi secara teoritis maupun praktis, fonetik dan fonemik           teoretis maupun praktis berdasarkan bidang kajian linguistik umum yaitu             linguistik teoretis dan linguistik praktis atau linguistik terapan.

Fonetik 

Pengertian Fonetik 

Fonetik adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar fisik bunyi-bunyi bahasa. Fonetik artikulatoris meneliti alat-alat organik yang dipakai untuk menghasilkan bunyi bahasa. Fonetik organis, atau fonetik artikulatoris, atau fonetik fisiologis mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara yang ada dalam tubuh manusia menghasilkan bunyi bahasa.
Saat udara dari paru-paru dihembuskan, kedua pita suara dapat merapat atau merenggang. Apabila pita suara merenggang sehingga arus udara dapat lewat
dengan mudah menghasilkan bunyi bersuara. Apabila pita suara dirapatkan maka menghasilkan bunyi tak bersuara.
Fonetik akustik menyelidiki bunyi menurut sifat-sifatnya sebagai getaran udara. Fonetik akustik menyangkut bunyi bahasa dari sudut bunyi sebagai getaran udara, dari segi bunyi sebagai gejala fisis. Bunyi-bunyi diselidiki frekuensi getarannya, amplitudo, intensitas, dan timbrenya oleh alat pembantu seperti oscillograph.
Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme telinga menerima bunyi bahasa sebagai getaran udara. Fonetik jenis ini cenderung dimasukkan ke dalam neurologi ilmu kedokteran.


Alat-alat Ucap 

Secara garis besar alat-alat bicara untuk menghasilkan bunyi bahasa adalah paru-paru, pangkal tenggorokkan, rongga kerongkongan, langit-langit lunak, langit-langit keras, gusi, gigi, bibir, dan lidah. Fungsi pokok paru-paru adalah untuk pernafasan. Bernafas pada dasarnya ialah mengalirkan udara ke dalam paru-paru, proses ini disebut menarik nafas, sedangkan proses mengeluarkan udara kotor disebut menghembuskan nafas.
Pangkal tenggorok atau laring (larynx) adalah rongga pada ujung pipa pernafasan dan terdiri atas empat komponen yaitu: tulang rawan krikoid, dua tulang rawan aritenoid, sepasang pita suara, dan tulang rawan tiroid. Proses membuka dan menutupnya pita suara membentuk suatu celah atau ruang di antara sepasang pita suara yang disebut glotis. Glotis dibedakan atas empat posisi, yaitu dalam keadaan terbuka lebar, terbuka, tertutup, dan tertutup rapat. Proses bergetarnya pita suara disebut fonasi
Rongga kerongkongan (pharynx) ialah rongga yang terletak di antara pangkal tenggorok dengan rongga mulut dan rongga hidung, berfungsi sebagai saluran makanan dan minuman. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh faring disebut bunyi faringal.
Langit-langit lunak (velum) beserta bagian ujungnya yang disebut anak tekak (uvula) dapat turun naik sedemikian rupa. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh langit-langit lunak ini disebut bunyi velar. Bunyi yang dibentuk oleh pangkal lidah (dorsum) disebut dorsal. Gabungan antara pangkal lidah dan langit-langit lunak menjadi dorso-velar. Bunyi yang dihasilkan dengan hambatan anak tekak (uvula) disebut uvular.
Langit-langit keras terbuat dari tulang memiliki bagian depan dimulai langit-langit melengkung cekung ke atas dan bagian belakang berakhir dengan bagian yang terasa lunak apabila diraba. Bunyi yang dihasilkan oleh langit- langit keras (palatum) disebut palatal. Bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah (apex) disebut apikal sedangkan bunyi yang dihasilkan dengan hambatan tengah lidah (medium) disebut medial. Gabungan yang pertama menjadi apikopalatal, sedangkan gabungan yang kedua menjadi medio-palatal.
Gusi dalam (gusi belakang, ceruk gigi, lengkung kaki gigi, dan lekuk gigi) adalah bagian gusi tempat letak akar gigi depan atas bagian belakang, terletak tepat di atas serta di belakang gigi yang melengkung ke dalam menghadap lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh gusi disebut alveolar. Bunyi yang dihasilkan dengan hambatan ujung lidah dengan gusi disebut bunyi apiko-alveolar. Bunyi yang dihasilkan oleh daun lidah (lamina) disebut laminal. Gabungan dari keduanya menjadi bunyi lamino-alveolar.
Gigi terbagi atas dua bagian yaitu gigi bawah dan gigi atas. Yang berfungsi penuh sebagai artikulator adalah gigi atas bekerja sama dengan bibir bawah atau ujung lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh gigi (denta) disebut dental. Bunyi yang dihasilkan oleh bibir (labia) disebut labial. Bunyi yang dihasilkan dengan hambatan gigi atas dengan bibir bawah disebut labio-dental. Bunyi yang dihasilkan dengan hambatan gigi atas dengan ujung lidah disebut apiko-dental.
Bibir terbagi menjadi dua yaitu bibir bawah dan atas dengan fungsi pokok sebagai pintu penjaga rongga mulut. Bibir bawah dapat pula bertindak sebagai artikulator aktif dan bekerja sama dengan gigi atas menghasilkan bunyi labio-dental.
Lidah memiliki fungsi utama sebagai alat perasa. Lidah dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu akar lidah (root), pangkal lidah (dorsum), tengah lidah (medium), daun lidah (lamina), dan ujung lidah (apex). Akar lidah bekerja sama dengan rongga kerongkongan menghasilkan bunyi radiko-faringal. Jika pangkal lidah bekerja sama dengan langit-langit lunak maka akan menghasilkan bunyi dorso-velar. Ujung lidah dan langit-langit keras menghasilkan bunyi apiko-palatal. Ujung lidah dengan gusi menghasilkan bunyi apiko-alveolar. Ujung lidah dengan gigi atas menghasilkan bunyi apiko-dental.


Klasifikasi Bunyi Bahasa 

Bunyi-bunyi bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan hambatan-nya, penyertaan udara pada rongga hidung, ketegangan arus udara, lama bunyi diucapkan, jumlah bunyi yang diruntut, derajat kenyaringan, dan berdasarkan keluar-masuknya udara. Vokal merupakan bunyi yang tidak mendapat hambatan pada alat bicara. Oleh karena vokal dihasilkan dengan hambatan pita suara maka pita suara dapat bergetar. Konsonan dibentuk dengan cara menghambat arus udara pada sebagian alat bicara. Jadi, ada artikulasi. Semivokal ialah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan.
Bunyi bahasa dapat dibedakan atas bunyi nasal (sengau) dan bunyi oral. Kalau udara keluar atau disertai keluarnya udara lewat rongga hidung maka bunyi itu disebut bunyi nasal atau sengau. Kalau langit-langit lunak beserta ujung anak tekak menaik menutupi rongga hidung sehingga udara hanya melalui rongga mulut saja maka bunyi yang dihasilkan disebut bunyi oral.
Bunyi bahasa disebut keras apabila ketika diartikulasikan disertai ketegangan kekuatan arus udara. Kalau tanpa disertai ketegangan kekuatan arus udara disebut bunyi lunak. Berdasarkan lamanya bunyi itu diucapkan atau lamanya bunyi itu diartikulasikan bunyi bahasa dibedakan atas bunyi panjang dan pendek. Tanda untuk panjang biasanya dengan tanda garis pendek di atas, atau dengan titik dua di sebelah kanan bunyi panjang itu.
Bunyi rangkap ialah bunyi yang terdiri atas dua bunyi dan terdapat dalam satu suku kata. Bunyi rangkap vokal disebut diftong sedangkan bunyi tunggal vokal disebut monoftong. Diftong berciri keadaan posisi lidah pada waktu mengucapkan bunyi vokal yang satu dengan yang lain saling berbeda. Bunyi rangkap konsonan disebut gugus konsonan atau klaster dengan ciri cara diartikulasikan atau tempat artikulasi kedua konsonan itu saling berbeda. Diftong dapat dibedakan lagi atas diftong naik dan diftong turun. Diftong naik di antaranya terdapat dalam bahasa Indonesia. Diftong naik dalam bahasa Indonesia ialah: [ oi, aI ], dan [aU].
Berdasarkan derajat kenyaringannya, bunyi dapat dibedakan atas bunyi nyaring (lantang) dan tidak nyaring pada waktu terdengar oleh telinga. Derajat kenyaringan itu ditentukan oleh luas sempitnya atau besar kecilnya ruang resonansi ketika bunyi itu dihasilkan. Berdasarkan arah arus udara dalam pembentukan, bunyi bahasa dapat dibedakan antara bunyi egresif dan bunyi ingresif. Pembentukan bunyi yang dilaksanakan dengan arus udara keluar dari paru-paru disebut egresif. Pembentukan bunyi dengan arah udara masuk ke dalam paru-paru disebut ingresif.







Vokoid

Vokoid

Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan melibatkan pita-pita suara tanpa penyempitan dan penutupan apapun dan di tempat artikulasi manapun. Vokal merupakan bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: tinggi-rendahnya posisi lidah, bagian lidah yang dinaikkan, dan bentuk bibir pada pembentukan vokal itu.
Menurut kualitas dan kuantitasnya, vokal dapat digolong-golongkan atas vokal tinggi, rendah dan tengah, vokal depan, belakang, dan madya, vokal bundar dan tak bundar, vokal panjang dan pendek, vokal nasal, dan oral, serta vokal tunggal dan diftong.
Fonem /i/ adalah vokal tinggi-depan dengan kedua bibir agak terentang ke samping. Fonem /u/ juga merupakan vokal tinggi, tetapi yang meninggi adalah belakang lidah. Contoh kedua vokal ini adalah /pinta/, /pagi/, /upah/, /juga/.
Fonem /e/ dibuat dengan cara daun lidah dinaikkan tetapi agak lebih rendah daripada untuk /i/ tadi. Perbedaan antara /e/ dan /i/ dalam hal tingginya kenaikan lidah mirip dengan perbedaan antara /u/ dan /o/ yang akan dijelaskan nanti. Contohnya /ejaan/, /ntah/, /perak/.
Vokal rendah di dalam bahasa Indonesia adalah /a/ dan merupakan vokal tengah pula. Vokal itu diucapkan dengan cara bagian tengah lidah agak merata dan mulut pun terbuka lebar. Contoh: /aku/, /batu/, dan /pita/.
Fonem /i/ mempunyai dua alofon yaitu [i] dan [I]. Fonern /i/ dilafalkan [i] jika terdapat pada 1) suku kata terbuka, atau 2) suku kata tertutup yang berakhir dengan fonem /m/, /n/, atau /ŋ/ dan juga mendapat tekanan yang lebih berat daripada suku kata lain.
Fonem /e/ mempunyai dua alofon, yaitu [e] dan []. Fonem /e/ dilafalkan [e] jika terdapat pada 1) suku kata buka, atau 2) suku kata itu tidak diikuti oleh suku yang mengandung []. Fonem /e/ dilafalkan [] jika terdapat pada suku kata akhir tertutup.
Fonem // hanya mempunyai satu alofon, yakni []. Alofon itu terdapat pada suku kata yang buka maupun tutup. Fonem /u/ mempunyai dua alofon, yaitu [u] kalau terdapat pada 1) suku kata buka, atau 2) suku kata tertutup yang berakhir dengan, /m/, /n/, atau /ŋ/ dan suku ini mendapat tekanan yang keras. Jika /u/ terdapat pada suku kata tertutup dan suku itu tidak mendapat tekanan yang keras, maka fonem /u/ dilafalkan [U].
Fonem /a/ hanya mempunyai satu alofon, yaitu [a]. Fonem /o/ mempunyai dua alofon, yaitu [o] dan [ ]. Fonem /o/ dilafalkan [o] jika terdapat pada 1) suku kata terbuka dan 2) suka kata itu tidak diikuti oleh suku lain yang mengandung alofon [ ]. Fonem /o/ dilafalkan [ ] jika terdapat pada suku tertutup atau suku terbuka yang diikuti oleh suku yang mengandung [ ].


Kontoid 
Pelafalan konsonan didasarkan atas tiga faktor yang terlibat yaitu (1) keadaan pita suara, (2) sentuhan atau pendekatan dari berbagai alat ucap, dan (3) cara alat ucap itu bersentuhan atau berdekatan. Konsonan di dalam bahasa Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan tiga faktor, yaitu: 1) keadaan pita suara, 2) daerah artikulasi, dan 3) cara artikulasinya. Berdasarkan keadaan pita suara, konsonan ada yang bersuara atau tak bersuara. Berdasarkan daerah artikulasinya, konsonan dapat bersifat bilabial, labiodental, alveolar, palatal, velar, atau glotal. Berdasarkan cara artikulasinya, konsonan dapat berupa hambat, frikatif, nasal, getar, atau lateral.
Di dalam bahasa Indonesia ada dua puluh dua konsonan fonem. Konsonan hambat alveolar /t/ dan /d/ umumnya dilafalkan dengan menempelkan ujung lidah pada gusi untuk menghambat udara yang berasal dari paru-paru dan kemudian melepaskan udara itu.
Konsonan hambat palatal tak bersuara /c/ dan yang bersuara /j/ dilafalkan dengan cara daun lidah ditempelkan ke langit-langit keras untuk menghambat udara dari paru-paru dan kemudian dilepaskan. Konsonan hambat velar /k/ dan /g/ dihasilkan dengan menempelkan belakang lidah ke langit-langit lunak. Udara dihambat di sini lalu dilepaskan.
Konsonan frikatif tak bersuara labiodental dibuat dengan bibir bawah didekatkan ke bagian bawah gigi atas sehingga udara dari paru-paru dapat melewati lubang yang sempit di antara gigi dan bibir dengan menimbulkan bunyi desis. Konsonan frikatif alveolar tak bersuara /s/ dihasilkan dengan cara menempelkan ujung lidah ke gusi atas sambil melepaskan udara lewat samping lidah sehingga menimbulkan bunyi desis.
Konsonan frikatif alveolar bersuara /z/ dibentuk dengan cara yang sama dengan pembentukan /s/, tetapi dengan pita suara yang bergetar. Konsonan frikatif palatal tak bersuara /s/ dibentuk dengan menempelkan depan lidah ke langit-langit keras, tetapi udara dapat melewati samping lidah dan menimbulkan bunyi desis.
Konsonan frikatif velar tak bersuara /x/ dibentuk dengan cara mendekatkan punggung lidah ke langit-langit lunak yang dinaikkan agar udara tidak keluar melalui hidung. Konsonan frikatif glotal tak bersuara /h/ dibentuk dengan cara melewatkan arus udara di antara pita suara yang menyempit sehingga menimbulkan bunyi desis, tanpa dihambat di tempat lain.
Konsonan nasal bilabial /m/ dihasilkan dengan cara kedua bibir dikatupkan, kemudian udara dilepas melalui rongga hidung. Konsonan nasal alveolar /n/ dihasilkan dengan cara menempelkan ujung lidah ke gusi untuk menghambat udara dari paru-paru. Konsonan nasal palatal / / dihasilkan dengan cara menempelkan depan lidah ke langit-langit keras untuk menahan udara dari paru-paru. Udara yang terhambat itu kemudian dikeluarkan melalui rongga hidung sehingga terjadi persengauan. Konsonan nasal velar /ŋ/ dibentuk dengan menempelkan belakang lidah ke langit-langit lunak dan udara kemudian dilepas melalui hidung.
Konsonan getar alveolar /r/ bersuara dibentuk dengan cara menempelkan ujung lidah ke gusi, kemudian udara dihembuskan sehingga lidah tersebut secara berulang-ulang menempel pada dan lepas dari gusi. Konsonan lateral alveolar /l/ bersuara dihasilkan dengan cara menempelkan daun lidah ke gusi dan mengeluarkan udara melewati samping lidah. Sementara itu, pita suara dalam keadaan bergetar.
Tiap fonem konsonan mempunyai alofon yang dalam banyak hal ditentukan oleh posisi fonem tersebut dalam kata atau suku kata. Fonem /p/ mempunyai dua alofon, yakni [p] dan [p>]. Fonem /b/ hanya mempunyai satu alofon, yakni [b] yang posisinya selalu mengawali suku kata.
Fonem /t/ mempunyai dua alofon yaitu [t] dan [t>]. Fonem /d/ hanya mempunyai satu alofon, yakni [d] yang posisinya selalu di awal suku kata. Fonem /k/ mempunyai tiga alofon yakni alofon lepas [k] yang terdapat di awal suku kata, alofon tak lepas [k>], dan alofon hambat glotal tak bersuara [?] keduanya terdapat di akhir suku kata. Fonem /g/ hanya mempunyai satu alofon, yakni [g] yang terdapat pada awal suku kata. Fonem /c/ mempunyai satu alofon, yakni [c] yang terdapat pada awal suku kata. Fonem /j/ juga hanya mempunyai satu alofon, yakni [j]. Fonem /f/ mempunyai satu alofon, yakni [f] yang memiliki posisi pada awal atau akhir suku kata. Fonem /s/ mempunyai satu alofon, yakni [s] yang terdapat pada awal atau akhir suku kata. Fonem /z/ mempunyai satu alofon, yakni [z] yang terdapat pada awal suku kata.
Fonem /s/ mempunyai satu alofon, yakni [s] yang terdapat hanya pada awal suku kata. Fonem /x/ mempunyai satu alofon, yakni [x] yang terdapat pada awal dan akhir suku kata. Fonem /h/ mempunyai dua alofon, yakni [h] yang bersuara dan [h] yang tidak bersuara.
Fonem /m/ mempunyai satu alofon, yakni [m] yang terdapat pada awal atau akhir suku kata. Fonem /n/ mempunyai satu alofon, yakni [n] yang terdapat pada awal atau akhir suku kata. Fonem / / mempunyai satu alofon, yakni [ ] dan hanya terdapat pada awal suku kata. Fonem /ŋ/ mempunyai satu alofon, yakni [ŋ] yang terdapat pada awal atau akhir suku kata.
Fonem /r/ mempunyai satu alofon yakni [r]. Fonem /l/ mempunyai satu alofon yakni [l] yang terdapat pada awal atau akhir suku kata. Huruf konsonan rangkap pada Allah dilafalkan sebagai [l], yaitu bunyi [l] yang berat yang dibentuk dengan menempelkan ujung lidah ke gusi sambil menaikkan belakang lidah ke langit-langit lunak atau menariknya ke arah dinding faring.

Semi Vokal 

Semivokal adalah bunyi bahasa di antara konsonan dan vokal. Secara praktis semivokal tergolong ke dalam konsonan karena belum membentuk konsonan murni.
Menurut artikulasinya ada dua jenis semivokal, yaitu semivokal bilabial [w] bersuara dilafalkan dengan artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas, dan semivokal palatal [y] bersuara dan dihasilkan dengan artikulator aktifnya ialah (tengah) lidah dan artikulator pasifnya ialah langit-langit keras.
Fonem /w/ mempunyai satu alofon, yakni [w]. Pada awal suku kata, bunyi [w] berfungsi sebagai konsonan, tetapi pada akhir suku kata [w] berfungsi sebagai bagian diftong. Semivokal [w] dapat berdistribusi di awal dan di tengah saja. Fonem /y/ mempunyai satu alofon, yakni [y]. Pada awal suku kata, /y/ berperilaku sebagai konsonan, tetapi pada akhir suku kata berfungsi sebagai bagian dari diftong.


Fonemik
Pengertian Fonemik 

1. Fonetik adalah bagian dari studi linguistik yang mempelajari bunyi bahasa             secara umum, tanpa memperhatikan makna, yang tidak bersifat fungsional,         kajian bunyi bahasa manapun. Sedangkan fonemik adalah bagian dari studi         linguistik yang mempelajari bahasa tertentu yang memperhatikan perbedaan       makna.
2. Fonemisasi adalah salah satu prosedur atau cara menemukan fonem suatu           bahasa. Penemuan fonem suatu bahasa itu didasarkan pada data-data yang         secara fonetis akurat. Salah satu prosedur fonemisasi adalah “pasangan               minimal” (minimal pairs). Pasangan minimal, yaitu bentuk-bentuk bahasa yang     terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa yang secara ideal sama, kecuali       satu bunyi yang tidak sama. Hasil dari fonemisasi dengan prosedur pasangan       minimal adalah ditemukannya suatu fonem, yaitu satuan bunyi yang terkecil         yang fungsional atau distingtif, dalam arti membedakan makna.


Distribusi Fonem

1. Distribusi fonem adalah letak atau posisi suatu fonem dalam suatu satuan yang     lebih besar yaitu tutur, morfem, atau kata.
2. Dalam satuan yang lebih besar dari fonem itu, terdapat tiga posisi untuk setiap     fonem, yaitu posisi awal (inisial), posisi tengah (medial), dan posisi akhir             (final).
3. Sebuah fonem berdistribusi awal apabila letaknya terdapat pada awal satuan itu     dan disebut berdistribusi medial, apabila fonem itu terletak di tengah satuan         itu, serta berdistribusi final, bila fonem itu terletak pada akhir satuan itu.
4. Terdapat empat cara menentukan distribusi suatu fonem, yaitu dalam tutur,         dalam morfem dan, dalam silaba, serta hubungan urutan vokal atau konsonan.
5. Dalam hubungan dengan silaba, fonem-fonem itu dapat berposisi sebagai             tumpu (awal silaba), inti atau puncak silaba, dan koda (akhir suku).
6. Setiap vokal hanya berfungsi sebagai inti atau puncak silaba.
7. Setiap konsonan hanya berfungsi sebagai tumpu atau koda.
8. Tidak setiap konsonan menempati distribusi akhir (final).




Variasi Fonem


1. Variasi fonem terjadi karena posisi atau letak suatu fonem dalam suatu kata         atau suku kata yang merupakan lingkungannya.
2. Variasi fonem disebut juga variasi alofonis, yaitu alofon atau realisasi fonem         dalam suatu lingkungan.
3. Variasi bebas adalah variasi fonem, yang tidak mengubah makna pada suatu       lingkungan tertentu.
4. Variasi bebas dapat terjadi karena ketidaksengajaan atau karena dialek




Bunyi Bahasa 

Tata Bunyi dan Ejaan 

Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat membedakan makna kata. Untuk menetapkan apakah suatu bunyi berstatus sebagai fonem atau bukan harus dicari pasangan minimalnya. Fonem merupakan konsep yang abstrak. Di dalam pertuturan fonem direalisasikan dalam bentuk alofon-alofon yang sesuai dengan lingkungannya. Di dalam kajian fonologi, alofon-alofon yang merupakan realisasi sebuah fonem, dapat saja dilambangkan secara akurat dalam wujud tulisan atau transkripsi fonetik. Transkripsi fonetik adalah penulisan pengubahan menurut bunyi, dan tandanya adalah [...]. Di dalam transkripsi fonetik ini setiap alofon, termasuk unsur-unsur suprasegmentalnya, dapat digambarkan secara tepat.
Transkripsi fonemik adalah penulisan pengubahan menurut fonem, dan tandanya adalah /.../. Di dalam transkripsi fonemik alofon-alofon yang bunyinya jelas tidak sama dari sebuah fonem dilambangkan dengan lambang yang sama. Transkripsi ortografis adalah penulisan fonem-fonem suatu bahasa menurut sistem ejaan yang berlaku pada suatu bahasa. Transkripsi ortografis pada dasarnya adalah penulisan pengubahan menurut huruf dan ejaan suatu bahasa. Bahasa Indonesia mengikuti kaidah kebahasaan seperti yang ada pada bahasa umumnya. Di dalam hal penulisan, bahasa Indonesia memiliki kaidah tersendiri. Pengaturan bunyi menjadi kata atau suku kata dan penggunaan aspek suprasegmental bahasa Indonesia ditentukan secara konvensi.
Ejaan dalam arti khusus adalah pelambangan bunyi-bunyi bahasa dengan huruf, baik berupa huruf demi huruf maupun huruf yang telah disusun menjadi kata, kelompok kata, atau kalimat. Dalam arti umum ejaan memiliki pengertian keseluruhan ketentuan yang mengatur perlambangan bunyi bahasa, termasuk pemisahan dan penggabungannya, yang dilengkapi pula dengan penggunaan tanda baca.
Sistem ejaan, lazimnya ada tiga aspek, yaitu fonologis, morfologis, dan sintaksis. Secara fonologis ejaan merupakan pelambangan fonem dengan huruf dan penyusunan abjad: pelambangan fonem huruf dari huruf asing ke Indonesia, pelafalan, akronim, punya abjad. Secara morfologis ejaan merupakan pelambangan satuan-satuan morfemis: pembentukan kata pengimbuhan, penggabungan kata, pemenggalan kata, tulisan kata memakai kata asing. Secara sintaksis ejaan merupakan pelambangan ujaran dengan tanda baca: penulisan dan pelafalan frasa, klausa, serta kalimat.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan mencakup aturan mengenai pemakaian huruf, pemakaian huruf kapital dan huruf miring, penulisan kata, penulisan unsur serapan, dan pemakaian tanda baca.
Suku kata adalah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan nafas dan umumnya terdiri atas beberapa fonem. Suku kata dalam bahasa Indonesia selalu memiliki vokal yang menjadi puncak suku kata. Puncak itu dapat didahului dan diikuti oleh satu konsonan atau lebih, meskipun dapat terjadi bahwa suku kata hanya terdiri atas satu vokal atau satu vokal dengan satu konsonan. Suku kata yang berakhir dengan vokal disebut suku kata terbuka dan suku kata yang berakhir dengan konsonan disebut suku kata tertutup.


Struktur Bunyi Bahasa 

Pada waktu melafalkan diftong, posisi lidah bunyi yang satu dengan yang lain saling berbeda menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta langit-langitnya. Diftong dapat diklasifikasi-kan menjadi tiga, yaitu diftong naik, diftong turun, dan diftong memusat.
Diftong naik atau menutup dihasilkan dengan cara vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih tinggi daripada vokal yang pertama, strukturnya semakin tertutup. Bahasa Indonesia memiliki tiga jenis diftong naik, yaitu 1) diftong naik-menutup-maju [aI], misalnya dalam kata pakai, lalai pandai, nilai, tupai, sampai, 2) diftong naik-menutup-maju [oi], misalnya dalam kata amboi, sepoi-sepoi, 3) diftong naik-menutup-mundur [aU], misalnya dalam kata saudara, lampau, kacau.
Diftong turun dihasilkan dengan cara posisi lidah yang kedua diucapkan lebih rendah dari yang pertama. Di dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong naik, sedangkan diftong turun tidak ada. Diftong memusat diucapkan dengan cara vokal kedua diucapkan dengan menggerakkan lidah ke vokal tengah sentral. Bahasa Indonesia tidak memiliki diftong memusat.
Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong dalam satu suku kata yang sama, misalnya bunyi [pr] pada kata praktis. Suku kata atau silaba ialah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan nafas dan umumnya terdiri atas beberapa fonem. Kata tiba diucapkan dengan dua hembusan nafas, satu hembusan untuk ti- dan satunya lagi untuk -ba.
Suku kata dalam bahasa Indonesia selalu memiliki vokal yang menjadi puncak suku kata. Puncak itu dapat didahului dan diikuti oleh satu konsonan atau lebih, meskipun dapat terjadi bahwa suku kata hanya terdiri atas satu vokal atau satu vokal dengan satu konsonan.
Di dalam bahasa Indonesia suku kata dapat terdiri atas 1) satu vokal (V), 2) satu vokal dan satu konsonan (VK), 3) satu konsonan dan satu vokal (KV), 4) satu konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KVK), 5) dua konsonan dan satu vokal (KKV), 6) dua konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KKVK), 7) satu konsonan, satu vokal, dan dua konsonan (KVKK), 8) tiga konsonan dan satu vokal (KKKV), 9) tiga konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KKKVK), 10) dua konsonan, satu vokal, dan dua konsonan (KKVKK), 11) satu konsonan, satu vokal, dan tiga konsonan (KVKKK).
Kata di dalam bahasa Indonesia dibentuk dari gabungan bermacam- macam suku kata. Pada suku kata yang agak rumit banyak orang menyelipkan fonem [e] untuk memisahkan konsonan yang berdekatan. Bahasa Indonesia tidak memiliki konsonan rangkap pada akhir suku, terkecuali pada kata pungut.
Pemenggalan kata berhubungan dengan kata sebagai satuan tulisan sedangkan penyukuan kata bertalian dengan kata sebagai satuan bunyi bahasa. Pemenggalan tidak selalu berpedoman pada lafal kata.
Faktor lain yang penting adalah kesatuan pernapasan pada kata tersebut. Kita harus pula menghindari pemenggalan pada akhir kata yang hanya terdiri atas satu huruf saja. Aturan mengenai pemenggalan kata ini terdapat pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.




Analisis dan Perubahan Fonem

Analisis dan Uraian Fonem 

Analisis fonem atau fonemisasi bertujuan menemukan fonem dalam bahasa tertentu. Bunyi-bunyi yang secara fonetis banyak perlu dibatasi menjadi bunyi-bunyi yang fungsional dalam suatu bahasa.
Terdapat dua premis bunyi bahasa yang merupakan pokok-pokok pikiran tentang sifat-sifat bunyi:
(1) Bunyi-bunyi bahasa cenderung membentuk pola simetri
(2) Bunyi-bunyi bahasa cenderung saling mempengaruhi dalam lingkungannya

Terdapat dua hipotesis kerja dalam rangka analisis dan uraian fonem suatu bahasa.
(1) Bunyi-bunyi yang secara fonetis mirip harus dimasukkan ke dalam fonem yang      berbeda, bila dalam lingkungan kontras minimal.
(2) Bunyi-bunyi yang secara fonetis mirip harus dianggap sebagai fonem yang            sama. Apabila bunyi-bunyi itu terdapat dalam lingkungan komplementer.

Analisis dan uraian fonem bahasa mengikuti lima langkah penting:
(1) Catat bunyi yang mirip dan kontras
(2) Terapkan hipotesis kerja (1)
(3) Terapkan hipotesis kerja (2)
(4) Catat bunyi yang tidak mirip
(5) Inventarisasi fonem yang ada.


Perubahan Fonem

Perubahan fonem dapat menyebabkan terjadinya perubahan identitas fonem, dan bisa juga tidak mengubah identitas fonem. Perubahan fonem yang tidak mengubah identitas fonem disebut asimilasi fonetis, sedangkan yang menyebabkan adanya fonem lain disebut asimilasi fonemis.
Asimilasi fonemis terjadi atas tiga jenis, yaitu:
1.  Asimilasi progresif, yakni asimilasi yang terjadi bila fonem yang berasimilasi          terletak di belakang fonem yang menyebabkan asimilasi dari bunyi yang tidak      sama menjadi sama.
2. Asimilasi regresif, yakni asimilasi yang terjadi pada fonem yang berasimilasi         terletak di depan fonem yang menyebabkan asimilasi.
3. Asimilasi resiprokal, yaitu asimilasi yang terjadi antar dua fonem dalam antara      kata yang berubah menjadi satu morfem baru. 

Desimilasi adalah kebalikan dari asimilasi. Fonem-fonem yang sama berubah menjadi tidak sama, karena bunyi-bunyi yang sama ini saling berdekatan.
Hilangnya fonem mencakup tiga macam, yaitu pada awal kata, disebut afaresis, ditengah kata disebut sinkop, dan di akhir kata disebut apokop.
Kontraksi adalah perubahan fonem antar kata, yang menyebabkan kata baru seperti singkatan. 
Harmoni vokal adalah salah satu jenis modifikasi vokal, yang terjadi karena penambahan bunyi atau bentuk lain.
Metatesis adalah gejala pertukaran posisi atau letak fonem dalam sebuah kata, yang tidak mengubah makna.
Netralisasi terjadi apabila fonem-fonem yang kontras, dalam lingkungan tertentu fungsi pembeda makna ini batal, dan dinetralkan.
Untuk melambangkan dua bunyi yang telah dinetralkan dibuat lambang arkifonem.
Lambang arkifonem /D/ melambangkan netralisasi antara /d/ dan /t/.

Comments

Popular posts from this blog

Hadits Tentang Qazaf

Makalah Fiqh Mawaris Tentang Dzawil Furudh